Minggu, 04 Desember 2011

MENJADI MANUSIA belajar dari ARISTOTELES


Pengertian Filsafat itu sendiri;  yakni mencintai kebijaksanaan.
[vi ; F Budi Hardiman]

Yang menemukan kembali [Aristoteles] adalah para filosof Islam, terutama Ibn Rushd [1126-1198], sang bijak dari Cordova. Dari Ibn Rushd, Aristoteles diperkenalkan ke Eropa abad pertengahan di mana Thomas Aquinas [1225-1274] menjadikannya dasar sistem filosofisnya.


Aristoteles adalah filosof Yunani pertama yang menulis sebuah “etika”, artinya, sebuah tulisan dengan tujuan agar manusia belajar untuk hidup secara bijaksana. Gagasan dasar Aristoteles adalah bahwa semakin manusia hidup dengan bijaksana semakin ia mengembangkan diri secara utuh.

Pengalaman praktis dari penjabaran teori-teorinya Aristoteles adalah menjadi guru Alexander atau Iskandar Agung selama 342-335 sM. Sebelumnya Aristoteles menjadi murid Plato di Athena selama 20 tahun.

Aristoteles lahir 384 di Stagyra. Karya bukunya yang termasyur adalah Etika Nikomacheia.
[x]
TUJUAN MANUSIA

Etika Nikomacheia mulai dengan kalimat termasyhur:  “Setiap keterampilan dan ajaran, begitu pula tindakan dan keputusan tampaknya mengejar salah satu nilai.”
Orang yang hidup dengan cara yang tidak sesuai tujuannya akan tercecer. Apapun yang di capainya akhirnya tidak akan bermakna karena dirinya sendiri berantakan.

Pertanyaannya , Apakah tujuan Manusia??
[1]

Moralitas , yaitu ajaran tentang apa yang baik dan apa yang tidak  baik kita lakukan.

Aristoteles mau menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk yang berpikir dapat mengetahui bagaimana ia seharusnya hidup.

Apapun yang dilakukan oleh manusia selalu dilakukannya demi sebuah tujuan.
[2]

Apakah tujuan manusia?
Ada dua macam tujuan: Ada tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan sementara adalah sarana untuk tujuan lebih lanjut.

Untuk tujuan akhir Aristoteles menjawab: Kebahagiaan! Kalau seseorang sudah bahagia, tidak ada yang masih diinginkan selebihnya.
[3]

Di satu pihak, kebahagiaan selalu dicari demi dirinya sendiri, dan bukan demi sesuatu yang lain. Dan di pihak satunya, kebahagiaan mencukupi dirinya sendiri, artinya, kalau kita sudah bahagia tidak ada yang bisa di tambah.

Kebahagiaan adalah apa yang dicari semua orang.

Karena itu etikanya di sebut  “eudemonisme”, dari kata Yunani  “eudaimonia”
[4]

Kita hendaknya hidup secara bermoral karena itulah jalan kebahagiaan. Itulah pesan dari Aristoteles. Tujuan moralitas adalah mengantar manusia ke tujuan terakhirnya, kebahagiaan.
[5]

Kebahagiaan adalah sesuatu yang bersifat ‘diberikan” bukan “direbut”. Kebahagiaan kita terima apabila kita menjalani hidup yang menunjangnya.
[7]

MENCARI NIKMAT SEBANYAK-BANYAKNYA

Moralitas adalah salah satu gejala kemanusiaan paling penting. Moralitas dapat di sebut keselurahan peraturan tentang bagaimana manusia harus mengatur kehidupannya supaya ia menjadi orang baik.
[9]

Aturan moral dapat diterima di pendidikan keluarga dan di masyarakat. Moralitas masing-masing masyarakat sudah ditemukan dalam tradisi dan kebudayaannya dan tidak jarang berakar dalam keyakinan agama.

Sebuah masyarakat semakin maju maka semakin ia membutuhkan untuk memastikan kembali aturan itu.
[10]

Filsafat menjelaskan; Hanya orang yang menguasai hawa nafsunya bisa bahagia. Padahal kebahagiaan itulah yang kita rindukan semua.

Yang harus kita lakukan adalah suatu kelakuan yang kita ketahui dapat menghasilkan kebahagiaan.

Epikuros[341-270], yang pertama kali mengemukakah Hedonisme aliran dalam filsafat yang mengajar bahwa sebagai aturan paling dasar hidup kita hendaknya menghindar dari rasa sakit dan mengusahakan rasa nikmat [dari kata Yunani “Hedone”, nikmat kegembiraan]. Jhon Stuart Mill [abad ke-19] dan Moritz Schlick [abad ke-20] mempertahankan Hedonisme.  Epikuros menyatakan; Kalau kamu mau bahagia, hindarilah perasaan sakit dan usahakan rasa nikmat.
[11]

Aristoteles menolak Hedonisme, ia menyebutkan bahwa ada tiga pola hidup yang membawa kepuasan pada dirinya sendiri: Hidup mengejar nikmat, berpolitik dan filsafat. Yang pertama disebutnya adalah “pola hidup ternak” Aristoteles tidak menjelaskan kata itu. Namun di tempat lain kita dapat mengetahui maksudnya. Menurut Aristoteles, binatang memang melakukan apapun untuk pencapaian nikmat [makan dan seksualitas] atau untuk menghindar dari perasaan-perasaan yang menyakitkan.

Menurut Aristoteles, hedonisme menerapkan cara hidup hewani kepada manusia, jadi hedonisme tidak membedakan manusia dan binatang, dan tentu itu tidak masuk akal dan memalukan.
[13-14]

Dalam buku Etika Nikomacheia, Aristoteles membahas nikmat dan rasa sakit. Hal nikmat dan sakit bukan sesuatu yang boleh di abaikan. Dua perasaan ini memainkan peranan yang sangat penting dalam mengejar kehidupan yang baik, jadi dalam usaha manusia untuk memperoleh keutaman-keutaman etis.

Perasaan nikmat mempunyai daya tarik yang dahsyat, dan perasaan sakit lebih ampuh lagi dalam membuat makhluk mengelak dari sesuatu. Manusia akan suka melakukan hal-hal yang dinikmatinya dan menghindar dari hal-hal yang menyakiti. Dua daya kuat itu menurut Aristoteles harus di manfaatkan agar orang mengembangkan diri.

Yang perlu adalah agar orang semakin menikmati bertindak menurut keutamaan dan merasa semakin tidak enak apabila ia mengikuti dorongan-dorongan dari rendah.

Pendidikan yang baik adalah mengantarkan anak ke pengalaman bahwa kelakuan yang baik _pelaksanaan keutamaan_ merupakan sesuatu yang menyenangkan, dan bahwa melakukan sesuatu yang tidak baik meninggalkan perasaan tidak enak.


Catatan :
Filosof : Bahasa Arab “Failasuf”, begitu juga “Filsafat” dalam bahasa Latin “Philosophia”. Terbentuk dari kata Philein, mencintai dan sophia, kebijaksanaan. Filosof adalah orang yang mencintai kebijaksanaan.

 Franz Magnis Suseno
Kanisius 2009, Jakarta


Tidak ada komentar: